Bertindak “jujur” belum tentu benar
Bertindak “benar” belum tentu jujur
Kedua kalimat diatas memang sering terjadi dan hal ini memang mengikuti hukum-hukum tertentu yang satu dengan lainnya berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan bisnis, etika kedokteran, cara memberi pelajaran pada anak, dan lain-lain semuanya mempunyai dasar hukum tertentu dan bukan berdasarkan kejujuran tetapi berdasarkan kebenaran.
Jujur sifat yang memang harus dimiliki dan boleh dikatakan mutlak harus kita punyai. Sifat jujur boleh dikatakan setara dengan sifat-sifat lainnya seperti sifat berani, belas kasih, dan lain-lainnya.
Kalau seseorang dikatakan harus berani, lalu apakah orang tersebut harus berani dalam segala hal? Tentunya ada batas-batas tertentu dari keberanian orang tersebut, misalnya: orang tersebut berani dalam mengambil keputusan, akan tetapi saat ia diminta untuk mencoba “buggy jumping” atau mungkin diminta untuk menyanyi didepan umum maka orang tersebut akan tidak berani.
Lalu bagaimanakah ini: “Apakah keberanian itu harus bisa dilaksanakan 100%?” Demikian pula halnya dengan “belas kasih”, walaupun harus memiliki namun saat menghadapi ular, harimau ataupun penjahat yang sangat mengancam diri kita, apakah kita harus melaksanakan belas kasih 100%?
Tentunya tidak dan inipun berlaku untuk kejujuran. Dalam berbisnis orang dituntut untuk jujur sehingga dipercaya orang.
Apakah benar kejujuran yang dituntut?, apakah bukan suatu tindakan yang benar yang dituntut?
Mungkin hanya salah kaprah orang meminta pihak lain untuk jujur dalam berbisnis. Dalam dunia bisnis sendiri ada hukum-hukum tertentu yang dipakai dan kalau dari prinsip “gunakan energi sesedikit mungkin untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya”, hal ini akan sangat bertentangan dengan kejujuran, namun akan tetap dapat diterima bila seseorang menjalankannya dengan benar dan tidak menyakiti pihak-pihak lain.
Seorang anak jatuh dan orang tuanya spontan menyatakan “Oh, tidak apa-apa! Anak pintar, tidak sakit kok! Jangan nangis, yach!”
Apakah ini kesalahan orang tua dalam menanggapi masalah tersebut, mungkin ada alternatif lain yang bisa kita gunakan misalnya “Oh, jatuh ya, mana yang sakit, sini diberi obat agar tidak sakit”, dengan tanggapan yang demikian kita mendidik anak untuk mengerti suatu permasalahan, bahwa dia jatuh dan sakit dan perlu diobati dan tidak perlu dibohongi.
Kedua kalimat diatas memang sering terjadi dan hal ini memang mengikuti hukum-hukum tertentu yang satu dengan lainnya berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan bisnis, etika kedokteran, cara memberi pelajaran pada anak, dan lain-lain semuanya mempunyai dasar hukum tertentu dan bukan berdasarkan kejujuran tetapi berdasarkan kebenaran.
Jujur sifat yang memang harus dimiliki dan boleh dikatakan mutlak harus kita punyai. Sifat jujur boleh dikatakan setara dengan sifat-sifat lainnya seperti sifat berani, belas kasih, dan lain-lainnya.
Kalau seseorang dikatakan harus berani, lalu apakah orang tersebut harus berani dalam segala hal? Tentunya ada batas-batas tertentu dari keberanian orang tersebut, misalnya: orang tersebut berani dalam mengambil keputusan, akan tetapi saat ia diminta untuk mencoba “buggy jumping” atau mungkin diminta untuk menyanyi didepan umum maka orang tersebut akan tidak berani.
Lalu bagaimanakah ini: “Apakah keberanian itu harus bisa dilaksanakan 100%?” Demikian pula halnya dengan “belas kasih”, walaupun harus memiliki namun saat menghadapi ular, harimau ataupun penjahat yang sangat mengancam diri kita, apakah kita harus melaksanakan belas kasih 100%?
Tentunya tidak dan inipun berlaku untuk kejujuran. Dalam berbisnis orang dituntut untuk jujur sehingga dipercaya orang.
Apakah benar kejujuran yang dituntut?, apakah bukan suatu tindakan yang benar yang dituntut?
Mungkin hanya salah kaprah orang meminta pihak lain untuk jujur dalam berbisnis. Dalam dunia bisnis sendiri ada hukum-hukum tertentu yang dipakai dan kalau dari prinsip “gunakan energi sesedikit mungkin untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya”, hal ini akan sangat bertentangan dengan kejujuran, namun akan tetap dapat diterima bila seseorang menjalankannya dengan benar dan tidak menyakiti pihak-pihak lain.
Seorang anak jatuh dan orang tuanya spontan menyatakan “Oh, tidak apa-apa! Anak pintar, tidak sakit kok! Jangan nangis, yach!”
Apakah ini kesalahan orang tua dalam menanggapi masalah tersebut, mungkin ada alternatif lain yang bisa kita gunakan misalnya “Oh, jatuh ya, mana yang sakit, sini diberi obat agar tidak sakit”, dengan tanggapan yang demikian kita mendidik anak untuk mengerti suatu permasalahan, bahwa dia jatuh dan sakit dan perlu diobati dan tidak perlu dibohongi.
Bagaimana dengan kebenaran?
Kebenaran tidak dapat dibantah, harus dilaksanakan dengan mutlak. Seorang pedagang mengatakan tidak untung menjual barangnya, tentunya bisa dilihat pedagang tersebut tidak jujur karena bisa saja pedagang tersebut telah mendapatkan keuntungan atau mungkin dia telah mendapat bonus dari pabrik tetapi dia tidak mengutarakannya.
Namun hal ini tetap dibenarkan dalam berbisnis, jadi bisa dilaksanakan meskipun pedagang tersebut tidak jujur. Kecuali pedagang tersebut memalsukan barang yang asli dengan yang palsu atau barang lain yang kualitasnya lebih jelek dari barang sebenarnya, hal ini adalah tidak benar, sehingga salah bila dilaksanakan, maka kita harus melakukan sesuatu yang benar. Untuk mengejar kesempurnaan apakah bisa tidak berbohong?.
Bila hal ini disepakati dan dipahaminya, maka apakah tidak masalah berbohong, karena masih berpijak pada kebenaran.
Contoh-contoh konkrit yang kita bisa lihat misalnya:
Kebenaran tidak dapat dibantah, harus dilaksanakan dengan mutlak. Seorang pedagang mengatakan tidak untung menjual barangnya, tentunya bisa dilihat pedagang tersebut tidak jujur karena bisa saja pedagang tersebut telah mendapatkan keuntungan atau mungkin dia telah mendapat bonus dari pabrik tetapi dia tidak mengutarakannya.
Namun hal ini tetap dibenarkan dalam berbisnis, jadi bisa dilaksanakan meskipun pedagang tersebut tidak jujur. Kecuali pedagang tersebut memalsukan barang yang asli dengan yang palsu atau barang lain yang kualitasnya lebih jelek dari barang sebenarnya, hal ini adalah tidak benar, sehingga salah bila dilaksanakan, maka kita harus melakukan sesuatu yang benar. Untuk mengejar kesempurnaan apakah bisa tidak berbohong?.
Bila hal ini disepakati dan dipahaminya, maka apakah tidak masalah berbohong, karena masih berpijak pada kebenaran.
Contoh-contoh konkrit yang kita bisa lihat misalnya:
Saat menyumbang untuk amal, ketika ditanya siapa yang menyumbang, kadang tidak mengaku karena tahu amal tidak perlu di gembar-gemborkan, hal inipun berbohong.
Kedua contoh tersebut diatas adalah tindakan yang benar, maka tidak masalah melakukannya ?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar